Sabtu, 23 Mei 2009

20 Kesalahan Dalam Beraqidah

(Sunday, 03 October 2004) - - Last Updated ()



Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan

beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan

dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi

mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-

kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita

bisa mengambil manfaat darinya.



Kondisi umat Islam sekarang ini sudah sedemikian memprihatinkan. Krisis multi dimensi dalam tatanan kehidupan

beragama semakin terasa. Sosok muslim ideal yang sesuai dengan syariat telah ditinggalkan. Kesalahan-kesalahan

dalam pengamalan sehari-hari mereka tampilkan, baik dalam bentuk lisan, amalan atau keyakinan. Dan lebih parah lagi

mereka tidak sadar bahwa bila telah melakukan suatu kesalahan.



Oleh karena itu kami akan mengangkat kesalahan-kesalahan umat Islam dalam permasalahan aqidah yang telah

menyebar dan begitu popoler di masyarakat. Semoga kita bisa mengambil manfaat darinya.







1. Kesalahan memahami kalimat lailahailallah



Ini merupakan kesalahan esensial di tengah masyarakat muslimin dewasa ini. Mereka mencukupkan Laa ilaahaillallah

hanya di lisan saja tanpa menyadari, bahwa kalimat tauhid ini menuntut perkara-perkara lain. Diantara perkara-perkara

yang dituntut adalah nafi dan itsbat. Nafi maknanya ialah seseorang yang telah mengucapkan kalimat tauhid ini harus

membuang semua bentuk peribadaatan kepada selain Allah. Makna itsbat adalah menetapkan semua bentuk-bentuk

peribadatan hanya kepada Allah semata, tidak ada sekutu bagiNya.Maksudnya adalah pemurnian agama itu hanya

untuk Allah dan kufur (mengingkari) terhadap sesembahan selainNya. Berdasarkan firman Allah,



"Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan) "Sembahlah Allah (saja), dan

jauhilah Thagut itu.” QS. An-Nahl 36)



Oleh karena itu dalam melafazkan kalimat tauhid ini harus ada konsekwensi yang mesti dipenuhi. Yaitu mengesakan

Allah yang disertai ketaatan dan ketundukan untuk melaksanakan perintahNya dan mejauhi larangan-laranganNya.

Bukan hanya sekedar beribadah kepada Allah k saja tanpa diiringi dengan pengingkaran terhadap thagut.







2. Istihzaa’ (memperolok) perkara-perkara agama



Sebagai misal meperolok-olokkan masalah jenggot, jilbab, menaikkan pakaian diatas mata kaki, Islam sudah tidak

relevan dengan zaman kerena membatasi kebebasan waanita, hukum waris dan lain sebagainya.Ketahuilah, jika olok-

olokan itu ditujukan kepada syariat maka, sungguh dia telah menjadi kafir dan keluar dari ajaran agama Islam. Karena

menghina syariat berarti menghina pembuat syariat, yaitu Allah. Begitu pula ia telah menghina Rasulullah n *) *)[lih. At-

Tauhid oleh Shalih Fauzan hal.42]. berdasarkan dalil,



"Katakanlah,"Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta

maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. (QS At-Taubah: 65-66)



Dan seandainya olok-olokkan itu ditujukan kepada orangnya (pelaku syariat), maka dia termasuk orang yang fasiq dan

sudah tergelincir di tempat yang sangat berbahaya.





3.Ungkapan sebagian orang, “Ini sudah kehendak takdir”, atau, “Jika zaman sudah berkehendak maka akan menjadi

begini dan begini”.Ini juga merupakan kesalahan yang harus segera ditinggalkan. Karena zaman dan takdir tidak memiliki

kehendak. Kehendak dan takdir kepunyaan Allah. Perhatikanlah firman Allah,



"Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.(QS Al-Furqan: 2

)



Termasuk sifat Allah adalah berbuat sesuai dengan kehendakNya. Tidak akan pernah ada satu kejadianpun kecuali

dengan iradahNya. Tidak akan ada di alam ini satupun yang keluar dari ketentuan takdirNya, dan tidak akan muncul

kecuali karena takdirNya pula. Apa yang ditakdirkan tidak akan pernah meleset. *) *)[Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 89 oleh

Syaikh Shalih al-Utsaimin]



4. Perkataan yang masyhur dari kalangan ilmuwan atau pelajar yang mempelajari ilmu Biologi, Kimia atau yang lain,

“Partikel ini tidak mungkin bisa hancur” atau “Tidak mungkin zat ini akan terbentuk” dan ucapan-ucapan lain yang senada.



Mereka tidak sadar, bahwa ucapan termasuk bathil. Perlu diingat, semua yang ada di alam ini asalnya tidak ada.

Allahlah yang menciptakannya dan semua makhluk pasti akan mengalami kehancuran atau kematian. Kemudian Allah

hidupkan pada saat yang lain sesuai dengan kehendak Allah.



"Dialah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan

Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk : 2)



Jadi tidak ada satu makhlukpun yang hancur atau tercipta dengan sendirinya. Adapun makhluk yang bakal Allah

kekalkan adalah Syurga dan Neraka disertai dengan kenikmatan atau adzab didalamnya, begitu juga dengan

penghuninya. Sedangkan yang lain akan mengalami kehancuran. *) *)[tiap-tiap yang berjiwa pasti merasakan kematian]



5. Mengeluh dan mencela waktu.



Kesalahan seperti ini lebih banyak dilakukan oleh para penyair, seniman dan sastrawan melalui karya-karyanya.

Kemudian diikuti oleh masyarakat umum sehingga menjadi suatu yang lumrah di kalangan masyarakat.



Contohnya, “Zaman telah menguasaiku” atau “Zaman telah berkhianat” atau “Zaman telah gila” dan lain sebagainya.



Untuk lebih jelas, perhatikanlah penjelasan berikut ini.



Jika yang dimaksud hanya untuk memberikan tentang sifat suatu ‘zaman’, maka hal itu diperbolehkan. Contoh, “Hari ini

sangat panas” atau “sangat dingin” dengan syarat tanpa disertai celaan, berdasarkan firman Allah atas ucapan Luth alaihis

salam,



"Ini adalah hari yang amat sulit".. (QS. Huud : 77)



Jika celaan terhadap waktu diiringi dengan keyakinan bahwa ‘waktu’ adalah penentu terhadap berbagai kejadian

(musibah dan bencana), maka hal ini termasuk perbuatan syirik akbar (besar) karena berkeyakinan ada kekuatan atau

kekuasaan selain Allah. Berdasarkan dalil,



"Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari". (QS. Al-

Faathir : 13)



Jika terjadi celaan terhadap waktu namun si pencela masih berkeyakinan bahwa Allahlah pelakunya dan penentunya,

maka hal ini termasuk larangan. *) *)[Untuk lebih jelas, lihat Syarh Lum’atul I’tiqad hal. 22 atau Al-Manahi Al-Syar’iyah hal

74 oleh Syeikh Salim Al-Hilali] Dalilnya,



Janganlah kalian mencela waktu karena sesungguhnya Allah itu adalah penentu waktu.



Maksudnya, Dialah Allah yang mengatur dan mengusai waktu (masa), berdasarkan dalil,



Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda, Allah

berfirman, “Aku disakiti oleh Anak Adam ia mencela waktu, Aku adalah pengatur waktu. Aku membolak-balikkan siang

dan malam.”



(HR. Muslim 5862)



Oleh karena itu kita harus meyakini bahwa kekuasaan mutlak hanya berada di tangan Allah. Keyakinan yang sebenar-

benarnya disertai dengan membenarkan secara lisan dan amalan *) *)[Tentang celaan tidak hanya terbatas pada waktu

saja, karena kita juga dilarang mencela kendaraan, angin, ayam jantan dan penyakit panas. Lihat Hashaidul Alsun hal.

156-159 oleh Husein Al-Uwaisyah]



6. Ketika seseorang memperingatkan orang lain dengan sunnah terutama yang menyangkut perkara yang zahir seperti,

“Pakailah jilbab !” atau, “Peliharalah janggutmu” atau, “Naikkanlah pakaianmu diatas mata kaki”, maka dia akan menjawab,

“Hal itu tidak penting karena taqwa itu tempatnya di hati.”



Ketahuilah, bahwa jawaban itu merupakan jawaban yang benar, namun dibalik jawaban itu terselubung niat yang bathil.

Rasulullah juga pernah mengatakannya, akan tetapi kapankah beliau mengucapkannya ? Beliau mengucapkannya

ketika memberikan nasehat kepada para shahabatnya agar mereka berpegang teguh dengan adab-adab Islam. Beliau

berkata,



"Janganlah kalian saling mendengki, janganlah kalian saling membenci, janganlah kalian saling bersaing, jangan saling

bermusuhan, janganlah membeli diatas pembelian orang lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.

Seorang muslim adalah saudara muslim yang lain, jangan ia mendhalimi saudaranya, jangan mentelantarkannya, jangan

menghinanya. Taqwa tempatnya disini (Beliau mengisyaratkan ke dada tiga kali) Cukuplah keburukan bagi seseorang

yang dia meremehkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan kepada muslim yang lain darah, harta

dan kehormatannya." (Shahih Muslim 2564)



Begitulah, Rasulullah mengucapkan perkataan itu dalam perkara-perkara mu’amalah. Sedangkan pada diri orang yang

dinasehati tersebut jelaslah tidak menginginkan untuk mengamalkan nasehat dan sunnah. Seandainya hal itu benar-

benar ada pada hatinya. Maka secara otomatis anggota tubuhnya akan tunduk dan segera merealisasikan taqwa dalam

bentuk amalan, sebagaimana yang dilakukan oleh para shahabat ketika di nasehati Rasulullah shalallahu alaihi

wassalam.







7. Perkataan sebagian orang setelah terjadi satu kejadian yang tidak di sukai, “Seandainya tadi ini yang dikerjakan tentu

terjadi begini dan begini”







Hal ini termasuk larangan karena berpaling dari takdir Allah l berdasarkan sabda Rasulullah ,



“Bersungguh-sungguhlah pada suatu yang bermanfaat bagimu, minta tolonglah kepada Allah dan janganlah merasa

lemah ! Jika kamu tertimpa sesuatu, janganlah kamu mengatakan, “Seandainya saya mengerjakan begini maka akan

terjadi begini” akan tetapi ucapkanlah, “Allah sudah mentakdirkan dan apa yang Dia dikehendaki Allah pasti akan terjadi”.

Sesungguhnya ucapan, ‘Seandainya’ akan membuka peluang syaithan.” (HR. Muslim)



Akan tetapi kadang timbul pertanyaan, “Apakah semua ucapan ‘Seandainya’ itu dilarang secara mutlak dalam semua

permasalahan atau tidak ?” Jawabnya adalah sebagai berikut:



a. Jika lafaz ‘seandainya’dimaksudkan sekedar pemberitahuan, maka hal diperbolehkan. Misalnya, “Seandainya engkau

datang, aku pasti akan memuliakanmu !” atau “Seandainya aku tahu engkau ada pasti aku akan mengunjungimu !”



b. Jika dimaksudkan untuk pengharapan terhadap perkara yang di syari’atkan, maka hal itu dianjurkan bahkan

disunnahkan.



Contoh, “Seandainya aku memiliki kemampuan, maka aku akan berhaji” atau “Seandainya aku memiliki harta, maka aku

akan bershadaqah” Hal ini berdasarkan kisah dua orang yang diceritakan oleh Rasulullah n dalam yang masyhur,



”Dunia ini hanya milik empat golongan. Kemudian Beliau menyebutkan dua orang. Seseorang yang diberi harta oleh

Allah k lalu ia menginfakkan hartanya di jalan Allah, dan seseorang yang tidak diberi harta tetapi dia berkata,

“Seandainya aku memiliki harta seperti Fulan, sungguh aku pasti beramal sebagaimana dia beramal.” (Shahih Jami’ 3024)



c. Sikap mengeluh terhadap sesuatu yang telah terjadi. Maka hal ini terlarang berdasarkan hadits diatas.



8. Do’a yang diucapkan sebagian orang kepada sebagian yang lain, “Semoga Allah memanjangkan umurmu” atau,

“Semoga Allah mengekalkan hari-harimu”.



Hal ini tidak diperbolehkan karena tidak akan pernah ada seorangpun yang kekal. Berdasarkan firman Allah l ,



Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Wajah Rabbmu yang mempunyai Kebesaran dan

Kemuliaan.(QS. Ar-Rahman : 26-27)



Jika ingin mendo’akan orang lain, ucapkanlah, “Semoga Allah memanjangkan umurmu dalam ketaatan” karena hidup tidak

akan berguna jika jauh daari ketaatan kepada Allah l .



9. Salah memahami ‘Ibadah’. Sebagian orang menyangka bahwa ibadah hanya berkisar pada shalat, puasa, zakat dan

haji. Padahal ibadah itu mencakup seluruh cabang-cabang iman yang jumlahnya sekitar tujuhpuluh lebih.



"Iman itu ada 70 atau 60 cabang lebih. Yang paling afdhal adalah ucapan laa ilaaha illaallaah dan yang paling rendah

adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Malu termasuk cabang dari iman". (HR. Muslim)



Maka jelaslah, bahwa ibadah itu mencakup seluruh aspek kehidupan meliputi aspek mu’amalah, perekonomian, dan

persenjataan (yang sesuai dengan syari’at).



10. Munculnya syubhat, “Terkadang kecanggihan teknologi bisa membantah nash (teks) dari Al-Qur’an maupun dari

Hadits.”



Ketahuilah, wajib bagi seorang muslim berkeyakinan bahwa yang ada dalam Al-Qur’an ataupun Hadits yang shahih tidak

mungkin bertentangan dengan teknologi yang benar. Ini merupakan kenyataan yang wajib bagi kita untuk mengimaninya

dan membenarkan yang telah dijelaskan Allah dan RasulNya.


Misalnya, muncul keragu-raguan sebagian orang terhadap firman Allah l,



"Dan Dia mengetahui apa-apa yang ada di dalam rahim". (QS Luqman : 34)



Berdasarkan ayat diatas, apa-apa yang ada di dalam rahim hanyalah Allah yang mengetahuinya dan merupakan

rahasiaNya. Namun kenyataannya (menurut mereka), para dokter juga bisa mengetahui apa yang di rahim dengan

peralatan modern. Yaitu tentang jenis kelamin janin. Inilah salah satu contoh syubhat yang bisa menggoyahkan

keimanan.



Maka sebagai jawabannya adalah sebagai berikut.



Lafazh “maa” pada ayat tersebut termasuk lafaz yang bermakna umum. Artinya bisa mencakup semua yang berkaitan

dengan janin dalam ciptaannya. Bentuk, warna, panjang, rizqi, amalan, keadaannya di dunia (sengsara atau bahagia),

ajalnya dan lain sebagainya. Berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud z ,



"Sesungguhnya salah seorang diantara kalian, dikumpulkan penciptaannya di perut ibunya selama 40 hari berupa

nutfah, kemudian menjadi segumpal darah yang menggantung selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging

selama 40 har. Kemudian seorang Malaikat diutus kepada janin tersebut, lalu ia meniupkan ruh dan diperintahkan

dengan empat perkara yaitu tentang rizkinya, ajalnya, amalannya dan celaka atau bahagia. (HR. Bukhari)



Pengetahuan terhadap janin masuk dalam takdir Allah l dan dokter tidak akan bisa mengetahuinya kecuali setelah

diciptakan, disempurnakan bentuknya, hampir keluar dari rahim ibunya. Bagaimana sebelum itu, maka mereka tidak

akan bisa mengetahuinya, walaupun menggunakan alat yang canggih sekalipun. Oleh karena itu jelaslah bahwa nash itu

tidak akan bertentangan dengan teknologi yang benar.



11. Masyhurnya beberapa nama yang selayaknya di ganti karena mengandung tazkiyah (penyucian) terhadap diri.

Seperti: Iman, Fitnah, Abrar, Mallak dan lain sebagainya.



Rasulullah pernah merubah nama “Murroh” menjadi Zaenab atau Juwairiyah. *) *)[lihat Fathul Baari no. 6192, Muslim

2140]



12. Dugaan sebagian orang “Semua perkara itu sudah ditakdirkan, maka kita tidak perlu berdo’a kepada Allah.”



Ini juga termasuk kesalahan yang menyebar di tengah umat. Perlu diketahui bahwa do’a termasuk sebab, berdasarkan

sabda Rasulullah,



"Tidak ada yang bisa merubah takdir kecuali do’a". (Dihasankan oleh Al-Albani)



Maksudnya, bahwa do’a termasuk penyebab. Kadang-kadang Allah menghindarkan musibah seseorang disebabkan do’a.

Atau Allah memberikan kebaikan anak dan rizki juga disebabkan do’a. Berdasarkan hadits dari Rasulullah shalallahu

alaihi wassalam ,



"Tidaklah seorang hamba berdo’a, tidak meminta keburukan atau untuk memutuskan tali silaturrahim kecuali Allah akan

memberikan satu diantara tiga hal. Yaitu dikabulkan doanya, atau Allah hindarkan dia dari keburukan atau Allah simpan

doanya di sisi Allah untuk dia. Mereka berkata, “Kalau begitu kami akan memperbanyak do’a” Rasulullah menjawab, “Allah

lebih memperbanyak (pengabulanNya).” (HR Tirmidzi)



Do’a merupakan ibadah dan kita diperintahkan untuk berdo’a. Do’a merupakan sebab dari takdir dan sesungguhnya do’a

juga sudah ditakdirkan oleh Allah.


Dan Rabbmu berfirman, “Berdo'alah kepada-Ku,niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang

menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.". (QS 40 : 60)



Jawaban seseorang ketika dilarang dari penyimpangan, ia menjawab,“Karena kebanyakan orang melakukannya.” Jelas ini

merupakan jawaban yang tidak berdasar (hujjah) dan jauh dari kebenaran. Sebagaimana kita saksikan bahwa

kebanyakan orang pada zaman sekarang tidak memahami syari’ah Islam serta banyak menyimpang dari Islam. Hal ini

dipertegas dengan firman Allah,



Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya

(QS Al-An’am: 116)



Ditambah lagi dengan sedikitnya Ahlus Sunnah dibandingkan dengan banyaknya Ahlul bid’ah, belum lagi orang-orang

kafir. Oleh karena itu, wajib bagi kita mengikuti yang sedikit tetapi berada di atas kebenaran.



14. Sebagian orang menggantungkan tulisan yang berlafadz Allah dan Muhammad secara sejajar di dinding-dinding

rumah, papan-papan atau kitab-kitab dan lainnya.



Hal ini termasuk larangan. Karena memiliki makna menjadikan tandingan bagi Allah k . Lebih parah lagi, seandainya

yang menyaksikannya dari kalangan orang-orang awam yang tidak mengetahui maknannya. Mereka menganggap

bahwa, seolah ada kesejajaran kedudukan antara Allah dan Muhammad. Perhatikanlah firman Allah,



"Karena itu, janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (Al-Baqarah: 22)



Dan jika lafadz Muhammad dihilangkan, maka tinggalah lafadz Allah saja. Dan ini juga termasuk kesalahan. Karena

lafadz Allah saja termasuk dari dzikir sufiyah yang lazimnya, dengan mengucap ‘Allah…Allah…Allah’.



Oleh karenanya, selayaknya kita meninggalkan hal yang semacam ini (menggantungkan lafadz semacam ini) . Hal ini

belum pernah dicontohkan oleh Salaf As-Shalih g .



15.Persaksian ucapan dengan ‘Syahid’ terhadap orang yang meninggal di jihad fisabilillah. Maka semacam ini termasuk

kesalahan juga. Karena hanya Allahlah yang mengetahui keadaan hati orang tersebut.



Allah yang lebih mengetahui terhadap orang-orang yang jihad fi sabilillah.



Kita tidak bisa mengetahui hakekat hati orang yang meninggal tersebut. Apakah benar-benar ikhlas niatnya ataukah

tidak ? Sehingga masih berharap dunia. Atau apakah aqidahnya sudah lurus ataukah belum? Selayaknya kita hanya

mengatakan sebagaimana yang dikatakan Rasulullah n secara umum,



Barangsiapa yang meninggal atau terbunuh di jalan Allah maka dia adalah syahid.



Oleh karena itu kita dilarang menetapkan seseorang tertentu yang meninggal di jalan Allah dengan sebutan ‘syahid

Fulan’, karena ta’yin itu membutuhkan dalil. Jadi lafadz ãä menunjukkan keumuman, bukan ta’yin (pengkhususan) terhadap

seseorang tertentu. Sehingga selayaknya kita mendoakan dengan mengatakan, “Semoga dia termasuk syahid”, bukan

dengan “syahid Fulan.”



16. Merasa ada keberuntungan atau kesialan berkaitan dengan mushaf (al-Qur’an).



Maksudnya, ketika membuka mushaf kemudian menjumpai ayat yang didalamnya ada kebaikan, maka optimis



mendapatkannya. Dan sebaliknya, ketika membaca ayat yang didalamnya ada keburukan (adzab), maka merasa

pesimis terhindar darinya. Oleh karena itu para ulama melarang hal semacam ini.



17. Penulisan SAW untuk mempersingkat



Kalangan ulama musthalah hadits, melarang hal ini. Karena termasuk menghilangkan pahala shalawat atas Rasulullah

bagi seseorang. Dan seandainya saja seseorang menulis shalawat secara lengkap, maka penulisnya akan mendapat

pahala. Begitu pula orang-orang yang membacanya.



"Barangsiapa bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat kepadanya sepuluh kali karenanya. "(Abu

Daud)



Maka tidak selayaknya bagi seorang muslim meninggalkan pahala yang besar hanya karena untuk mempercepat dan

mempersingkat tulisan.



18. Mengiringi doa dan masyi’ah (kehendak) seperti doa sebagian orang “mudah-mudahan Allah merahmatimu, Insya

Allah!” atau “semoga Allah memberikan rizqi kepadamu, Insya Allah !”



Perhatikanlah dua contoh doa di atas sehingga nampak jelas. Maka doa tersebut termasuk larangan jika dalam masyi’ah

tersebut, kita bersikap masa bodoh terhadap doa kita (dikabulkan atau tidak terserah Allah Ta'ala) tanpa adanya

harapan.



Berdasarkan sabda Rasulullah ,



"Janganlah salah seorang dari kalian berkata-kata,”Ya Allah ampunilah aku jika engkau berkehendak dan rahmatilah aku

jika engkau berkehendak…”(Bukhari kitab Ad-Da’awat 6339, Muslim Kitab Dzikir dan Do’a no. 2679).



Akan tetapi diperbolehkan berdo’a disertai masyi’ah (khat) dengan syarat bertabaruk dan mengharapkan dengan sangat

dikabulkan doanya.



19. Mencaci-maki syetan.



Hal ini juga termasuk larangan berdasarkan sabda Nabi ,



" Janganlah kalian mencela syetan dan berlindunglah kepada Allah dari keburukkannya" (As-Shahihah no. 2422

dikeluarkan Ad-Dalimi dan selainnya).



Dan hadits yang lain,Dari Abu Malik, dari seorang laki-lak, dia berkata, “Aku membonceng Rasulullah n maka terantuklah

tungganganya.” Maka aku katakana, “Celakalah setan.” Maka beliau bersabda,“Janganlah engkau katakan ‘celaka setan’.

Jika engkau mengatakan hal itu, setan akan merasa dirinya besar sampai sebesar rumah dan dia akan berkata ‘dengan

kekuatanku !’akan tetapi katakanlah,’Bismillah’. Maka jika engkau katakan demikian, dia akan merasa kecil sekecil lalat.”

(Dikeluarkan Abu Daud, dan selainnya. Lihat Al-Kalam At-Thayib 237)*) *)[Ucapan “Celakalah engkau syaitan!”

memberikan kesan, bahwa setan memiliki andil dalam suatu kejadian. Sehingga setan menjadi bangga dengan hal itu.

red]



Dan perlu diketahui bahwa pencelaan/pencacimakian kita terhadap setan tidak berpengaruh sedikitpun terhadap

keputusan Allah karena kita mencaci atau tidak, syetan sudah dilaknat oleh Allah.



20. Merasa akan mendapat sial pada bulan safar, dengan berkeyakinan akan banyak terjadi “bala” sehingga menunda

safar (berpergian), pernikahan dan lain-lainnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah shalallahu alaihi wassalam,



"Tidak ada penyakit menular, tidak ada tathayur, tidak ada hammah tidak ada safar". (HR. Bukhari 5757, Muslim 2220)



Menurut sebagian ulama, yang dimaksud dengan shafara adalah bulan safar. Dan ini berdasarkan pendapat yang rajih.

Oleh karena itu selayaknya bagi kita memperlakukan bulan ini seperti bulan-bulan yang lain, tanpa dihinggapi rasa

khawatir dan dibayangi kesialan terhadap seseuatupun yang akan terjadi.



Demikianlah duapuluh kesalahan dalam beraqidah yang telah menyebar dan begitu populer di tengah umat. Pun masih

banyak didapati kesalahan-kesalahan aqidah yang lain. Semoga Allah senantiasa membimbing kita, sehingga terhindar

dari kesalahan-kesalahan tersebut. Amiin. Wallahu ‘alam.



diambil dari majalah As-Sunnah – Solo; edisi 5 tahun 2002 “Amar Makruf Nahi Mungkar”, diketik ulang oleh ummu raihanah
untuk Jilbab Online


http://www.jilbab.or.id - Jilbab Online - Portal Muslimah Indonesia Powered by Mambo Open Source Generated: 20 June, 2005, 10:17